Siang itu Kami dan beberapa teman komunitas Desa Wisata Kreatif Terong tiba di rumah Bang Nayan. Beliau adalah salah satu nelayan tradisional yang ada di Desa Terong. Bang Nayan yang masih bertahan sampai hari ini menggunakan alat tradisional untuk menangkap/menjebak ikan. Tujuan Kami berkunjung ke rumah Beliau karena ingin ngobrol dan menanyakan beberapa hal tentang kisah dan proses pembuatan alat tangkap/jebakan tradisional ikan. Sebab ini menyangkut perihal budaya dan kearifan lokal di desa, jadi harus ditanyakan kepada orang yang paham dibidangnya. Rumah Bang Nayan terletak di RT.06/02 Dusun I Desa Terong Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung.
Bicara tentang budaya dan kearifan lokal desa tidak akan pernah ada habisnya. Karena desa adalah tempat lahirnya banyak literasi tentang asal muasal sistem bernegara saat ini. Tempat lahirnya orang-orang hebat yang membangun negara ini dan tempat lahirnya cikal bakal banyak teknologi modern yang membawa manfaat bagi bangsa ini (Indonesia) yang berasal dari teknologi tradisional.
Serunya membahas teknologi tradisional tentang alat menangkap/menjebak ikan bersama Bang Nayan karena teknologi tersebut diciptakan selalu selaras dengan kelestarian alam dan lingkungan laut sekitarnya. Saat sekarang banyak pihak sedang gencar-gencarnya kampanye pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, justru orang-orang dahulu kala dari desa telah lebih dulu melakukannya tanpa perlu banyak kampanye. Kenapa bisa begitu ? Karena orang-orang dahulu kala (Orang Desa) telah berpikir jauh ke depan melampaui batas umur saat ia hidup bahwa bumi ini hanya sebuah titipan dari dan untuk anak cucunya.
Teknologi tradisional yang ada di Desa Terong berkaitan dengan kehidupan masyarakat pesisir yang tidak bisa lepas dari cara menangkap/menjebak ikan laut bernama ‘Siro’. Bang Nayan sendiri mengelola Siro sudah puluhan tahun yang lalu, meneruskan usaha Siro dari almarhum ayah Beliau. Alat tangkap/jebakan bernama Siro ini cara kerjanya lebih kepada mengikuti pergerakan ikan saat mengikuti arus air laut sedang surut. Karena nantinya ketika ikan akan di ambil oleh yang punya Siro adalah saat air laut sudah dalam kondisi surut kering. Siro yang ada di Desa Terong bukan hanya sekedar alat tradisional untuk menangkap/menjebak ikan di laut sejak ratusan tahun lalu. Tetapi Siro juga telah membuktikan ‘dirinya’ pada generasi saat ini bahwa ia mampu menjaga kelestarian laut tanpa merusak ekosistem laut itu sendiri.
Karena Siro sebagai teknologi tradisional telah mampu membuktikan dirinya selaras dengan menjaga keberlajutan kelestarian laut inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam bentuk tulisan sebagai bagian dari upaya untuk mengenalkannya kepada generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Dan sampai detik inipun Siro ini masih sangat layak untuk terus dijadikan alat tangkap/jebakan ikan yang sederhana namun efektif dan berwawasan lingkungan.
Untuk itu lewat tulisan ini mari Kita mengenal teknologi tradisional Siro lebih dekat bersama Bang Nayan yang menceritakannya sangat asik. Siro sudah dikenal masyarakat Belitung umumnya dan masyarakat Desa Terong khususnya sejak ratusan tahun yang lalu. Siro dibuat dengan struktur bentuk yang terencana dengan baik. Struktur bentuk Siro terdiri dari lima (5) bagian yang berbeda-beda bentuk dan fungsi. Sehingga mulai dari ikan berbagai jenis, udang sampai kepiting ketika sudah masuk ke bagian ujung Siro yang bernama ‘bunun mati’ dijamin tidak akan bisa keluar alias sudah terjebak.
Bentuk Siro yang kelihatan simple namun unik, jika terlihat dari atas agak mirip seperti sebuah drone. Hingga sewaktu masa kecil di desa dulu paling suka saat diajak ‘nyelik siro’ (mengunjungi siro) atau ‘nanggok siro’ (menangguk siro). Selain suka dengan bentuknya yang mirip pesawat/drone, juga karena selalu penasaran untuk melihat hasil jebakan yang berupa ikan, udang atau kepiting.
Bahan untuk membuat Siro kalau jaman dulu terbuat dari bahan yang serba alami yaitu dari tanaman perdu resaman yang dianyam menggunakan tali alami batang iding-iding yang sudah terlebih dulu dikeringkan. Lalu untuk penyangga mendirikan resaman yang sudah dijalin membentuk struktur bangunan Siro tadi menggunakan kayu berbagai ukuran agar semakin kokoh dan tahan dari terpaan ombak laut. Namun sekarang ini, bahan utama tanaman perdu resaman untuk membuat siro sudah digantikan dengan bahan jaring wareng berbahan nilon plastik yang sudah banyak jualannya.
Uniknya teknologi tradisional yang terbangun pada struktur bentuk Siro terdiri dari lima (5) bagian. Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi masing-masing. Dan ini membuktikan bahwa proses membuat designnya yang sudah sangat sempurna. Lebih detailnya kelima bagian bentuk Siro tersebut adalah :
Bagian pertama, bagian ini namanya ‘penuju’. Ini adalah bagian pertama yang menentukan agar pergerakan ikan saat mengikuti arus air laut surut mulai di arahkan untuk masuk ke bagian Siro berikutnya. Bentuk ‘penuju’ Siro ini dibuat lurus memanjang seperti ekor pesawat terbang. Panjangnya bervariasi sesuai dengan kesanggupan pembuat Siro dan ketersediaan bahan anyaman resaman yang dibuat. Yang jelas biasanya rata-rata panjang bagian ‘penuju’ ini di atas 20 meter. Dan yang paling penting penempatan struktur bangunan Siro ini di area laut harus di daerah yang paling dulu saat air laut pasang dan di daerah yang paling akhir saat air laut surut. Termasuk juga harus melihat kondisi arus air laut yang konstan atau selalu tetap di titik tersebut. Jadi memang tidak bisa disembarang area laut untuk meletakkan bangunan Siro. Karena kalau penempatannya disembarang titik maka hasil ikan, udang atau kepitingnya juga tidak akan pernah optimal.
Bagian kedua, bagian ini namanya ‘sayap atau kelingking siro’. Sesuai dengan namanya maka bagian ini memang membentuk seperti sayap. Letaknya ada di kiri dan kanan bagian ujung ‘penuju’ siro arah Barat. Bagian ujung ‘penuju siro’ ini memisahkan ujung ‘sayap atau kelingking siro’ bagian kiri dan kanan sehingga membentuk dua (2) celah. Yang lebar masing-masing celahnya kira-kira 20 cm. Celah ini berfungsi sebagai pintu masuk ikan dari penuju dan dua sayap/kelingking siro saat mengikuti arus air laut surut. Jadi fungsi sayap/kelingking siro ini hampir sama dengan fungsi penuju siro, yaitu untuk menggiring ikan, udang atau kepiting menuju ke bagian ‘perut siro’.
Bagian ketiga, bentuknya yang melebar dan ini adalah bagian siro yang paling besar ukurannya. Maka dalam istilah lokalnya bagian ini disebut ‘perut siro’. Perut siro tersambung menyatu dari ujung ujung sayap/kelingking siro menjadi satu kesatuan. Dan pada masing-masing sambungan yang menyatu tersebut sebenarnya masih bisa diperlebar atau dibuka sambungannya ketika pemilik Siro ingin mamasuki bagian perut siro. Fungsi perut siro ini sebagai tempat penampungan pertama ikan yang masuk mengikuti arus air laut surut baik dari penuju maupun dari sayap/kelingking siro. Prinsip kerja ‘perut siro’ walau ukurannya yang paling besar tapi tidak khawatir ikan akan kembali keluar dari celah antara penuju dan sayap/kelingking siro, karena ikan saat air laut surut tidak akan pernah melawan arus balik. Maka disini sudah dapat Kita pahami bahwa dengan mempelajari pola hidup ikan yang selalu berenang mengikuti arah arus air laut surut terciptalah teknologi tradisional siro ini.
Bagian keempat, nah bagian ini dinamakan ‘bunun tenga’. Kata ‘bunun’ dalam bahasa Belitung bisa di artikan sebagai sebuah tempat khusus menjebak ikan di siro. Sedangkan kata ‘tenga’ dalam bahasa Belitung artinya ‘tengah’. Jadi makna kata ‘bunun tenga’ lebih lengkapnya bisa di artikan sebagai sebuah bagian dari struktur bangunan siro yang letaknya di tengah, antara bagian ‘perut siro’ dan bagian terakhir siro yang bernama ‘bunun mati’. ‘Bunun tenga’ ukurannya lebih kecil dari bagian ‘perut siro’. Pada bagian ini ikan, udang atau kepiting yang masuk mulai terkontrensasi atau mulai kelihatan jelas jenis-jenis ikan apa saja yang sudah terperangkap. Karena terkadang pada bagian ini harus hati-hati juga mengambil ikannya. Seringkali ada jenis ikan yang berbisa. Menurut Bang Nayan yang sudah puluhan tahun pengalaman membuat dan mengelola Siro, saat memasuki bagian ‘bunun tenga’ ini harus ekstra hati-hati dan tidak boleh buru-buru. Bila perlu biarkan dulu air laut dalam kondisi sudah surut maksimal atau sudah mencapai surut batas mata kaki orang dewasa. Sehingga akan sangat mudah melihat jenis-jenis ikan dan dapat dengan mudah membedakan mana ikan yang berbisa. Jadi terkadang dalam pengelolaan teknologi tradisional seperti inipun sudah ada SOP-nya yang tak tetulis.
Bagian kelima. Seperti sudah disebutkan sekilas diatas bahwa bagian paling ujung atau akhir dari struktur bangunan Siro ini bernama ‘Bunun mati’. Memang agak-agak serem dikit kali ya namanya ‘Bunun mati” ? Tapi sebenarnya nama ini hanya sebuah istilah atau boleh dikatakan sebuah frase untuk mendiskripsikan salah satu bagian Siro sebagai sebuah teknologi tradisonal yang paling penting untuk menjebak ikan. Dan bagian ‘bunun mati’ ini ketika ikan, udang atau kepiting sudah masuk benar-benar tidak bisa lagi lepas atau keluar. Pada bagian ini pemilik siro akan lebih mudah mengambil apa saja yang terjebak didalamnya menggunakan tangguk.
Proses penyiapan membuat sebuah bangunan siro ini sampai menjadi sempurna untuk dijadikan sebagai sebuah alat bagi mata pencaharian nelayan tradisonal merupakan salah proses yang penuh dengan perhitungan yang matang. Mulai dari pengumpulan bahan-bahan seperti kayu untuk penyangga anyaman resaman atau jaring wareng, mengambil resaman di hutan dan itupun tidak bisa langsung di anyam, tapi harus dijemur terlebih dulu. Proses menganyam resaman ini bukan hal yang mudah, sebab resaman yang yang di anyam jumlahnya harus genap dan tidak boleh ganjil.
Menganyam resaman-pun harus di kondisi tanah yang datar dan rata, supaya lebih mudah untuk di gulung setelah hitungan anyaman jadi. Dengan bentuk bangunan Siro yang besar, biasanya memerlukan belasan gulung resaman yang sudah di gulung. Panjang rata ayaman resaman dalam satu gulung berkisar antara 10 – 15 meter. Mengapa anyaman resaman perlu digulung ketika sudah jadi ? Jawabannya adalah agar nanti lebih mudah mengangkutnya ke titik Siro yang akan dipasang di laut. Membawa gulungan anyaman resaman ke laut untuk siap dipasang kalau jaman-jaman dahulu cukup dipikul dan dibawa satu-satu. Itupun bisa berminggu-minggu baru selesai. Karena setiap hari saat air laut surut paling hanya satu atau dua gulungan yang bisa dibawa.
Belum lagi proses loading kayu untuk tiang-tiang Siro, kayu penyangga anyaman resaman sebagai dinding siro dan membuat parak siro yang dibuat di atas bunun mati. Fungsi parak siro yang dibuat di atas bunun mati adalah untuk menaruh atau menyimpan alat-alat seperti tanggukan untuk mengambil ikan, satu atau dua gulungan anyaman siro sebagai cadangan untuk mengganti dinding siro yang sudah rusak. Sungguh suatu perencanaan matang, sampai untuk cadangan memperbaiki dinding siro yang rusakpun sudah disiapkan sejak awal.
Jika di total-total lamanya waktu untuk membangun satu unit siro ini sampai bisa benar-benar siap digunakan bisa memakan waktu satu sampai dua bulan lamanya. Namun dengan waktu yang panjang itu justru lebih mematangkan semua proses pembuatan. Sampai ke hal-hal detailpun bisa terverifikasi dengan baik oleh pembuat siro yang sudah pengalaman seperti Bang Nayan ini.
Makanya kemudian mengulang dari apa yang sudah disampaikan di awal tulisan ini, bahwa alat tangkap/jebakan ikan bernama siro ini walau sudah beratus-ratus unit dibuat sejak jaman dahulu dan sudah beratus-ratus tahun pula lamanya selalu bergantian yang membuatnya serta dijadikan sebagai salah satu alat untuk sumber mata pencaharian nelayan tradisional di Desa Terong, laut Desa Terong masih tetap lestari dan masih menjadi tempat bergantung hidup sebagian besar masyarakat desa. Artinya bahwa teknologi tradisional ini mampu mentasbihkan dirinya sebagai teknologi masyarakat lokal yang sangat ramah lingkungan, tidak merusak ekosistem laut, tidak merusak habitat berbagai biota laut. Karena teknologi tradisional siro dibuat dengan perhitungan yang sangat matang. Mulai dari bahan yang digunakan, cara menentukan letak siro yang baik dan benar sampai ke cara perawatan bangunan siro yang tetap memakai cara-cara tradisional.
Dan yang masih menjadi kebiasaan masyarakat lokal Desa Terong saat ini adalah setiap ingin memulai meletakkan pekerjaan apapun yang berkaitan dengan prilaku kehidupan sehari-hari termasuk saat pertama kali ingin membuat siro ini di suatu titik laut selalu meminta ‘persetujuan’ Kik Dukun Kampong. Karena Kik Dukun Kampong dianggap sebagai sosok yang dituakan, dihormati dan dianggap sebagai orang yang bisa menjadi pemberi solusi secara adat istiadat. Fungsi dan peran Kik Dukun Kampong pada ritual ini sendiri adalah tak lebih dari sebagai perantara meyampaikan doa, permintaan serta permohonan kemudahan, keselamatan, mohon rejeki yang berkah kepada Yang Maha Kuasa agar siro yang dipasang mendapatkan hasil yang melimpah.
Sisi lain dampak positif dari keberadaan teknologi tradisional Siro adalah aktifitas ‘nyelik siro’ {melihat/mengunjungi siro untuk mengambil hasil ikannya). ‘Nyelik siro’ merupakan aktifitas rutin yang kemudian dilakukan setelah Siro utuh terbangun dengan baik. ‘Nyelik siro’ pada akhirnya menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir Belitung. Waktu ‘nyelik siro’ selalu disesuaikan dengan kondisi saat air laut surut. Bisa waktunya pagi, siang atau sore hari. Bahkan bisa malam hari. Dan saat pulang ‘nyelik siro’ dari laut merupakan waktu yang paling dinanti para tetangga sekitar pemilik Siro. Karena saat hasil tangkapan ikannya banyak akan terjadi transaksi jual beli ikan segar dengan harga yang terjangkau.
Terima kasih Bang Nayan yang sudah bersedia direpotkan untuk diwawancara guna memperkuat narasi tentang siro sebagai sebuah karya teknologi tradisional yang handal dan ramah lingkungan agar tetap selalu terpelihara sebagai sebuah warisan budaya kearifan lokal masyarakat Desa Terong. Masyarakat Desa Terong yang bangga akan budaya desa dan bangga menjadi bagian masyarakat dunia yang ikut menjaga kelestarian laut di bumi.