Ketika hari ini semua orang berbicara tentang pariwisata secara umum, yang dibicarakan selalu mengenai dampak ekonomi, peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dan kesejahteraan pelaku-pelaku pariwisata itu sendiri. Dan semua itu memang harus, sebab tanpa ada dampak ekonomi, tanpa ada peningkatan kunjungan wisatawan (berkualitas) dan tanpa ada kesejahteraan pelaku wisata membuat semua akan juga sia-sia.
Namun dibalik semua dampak-dampak umum di atas dari pengembangan pariwisata atau bahkan dampak pengembangan suatu desa wisata (Pariwisata Berbasis Masyarakat), sebenarnya ada yang tidak boleh dilupakan. Bahkan (mungkin) akan menjadi dampak yang paling utama jika cara berpikirnya sudah ketemu dengan yang namanya makna “nilai-nilai kehidupan”.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan makna dari “nilai-nilai kehidupan” ? Tentunya semua tak terlepas dari cara atau pola kehidupan manusia yang bermartabat (dignity), yaitu cara dan pola kehidupan masyarakat desa yang penuh dengan kedamaian (peace), saling menghargai (value), menjaga budaya (maintain culture), menjaga kearifan lokal yang mulia (local wisdom) dan hidup berdampingan damai dengan alam semesta alias menjaga kelestarian alam ( preserving nature).
Dan hari ini serta detik inipun khususnya di Belitung, hampir semua orang tidak lagi terlalu bersemangat untuk meneruskan, mengembangkan, memajukan apalagi menjaga nilai-nilai kehidupan dari konsep pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism = cbt). Hal ini terjadi karena selama kurang lebih satu dekade ini penyebab utamanya ada sedikit kekeliruan memahami konsep pariwisata berbasis masyarakat itu sendiri, maka harus ada gerakan kesadaran bersama untuk mengembalikan semangat itu.
Caranya ??? Mari Kita kupas bersama, kita bahas bersama dan kita diskusikan bersama untuk bagaimana cara atau strategi mengembalikan semangat mengembangkan konsep pariwisata berbasis masyarakat (desa wisata).
Pertama, jauh-jauh hari sebelum mengembangkan konsep pariwisata berbasis masyarakat (desa wisata) tanamkan rasa cinta, rasa sayang dan rasa peduli yang tinggi disertai dengan (terus belajar) Ikhlas berbuat terhadap kampung sendiri. Sebab tanpa ada ‘rasa-rasa’ ini akan sulit dalam jangka panjang saat menapaki perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan mulai dari merintis, mengembangkan dan memajukan suatu desa wisata.
Kedua, jauh-jauh hari sebelum benar-benar terjun ke dunia desa wisata mulailah belajar membagi waktu dalam aktifitas sehari-hari. Filosofinya adalah tidak ada waktu yang akan terbuang sia-sia selama apa yang dilakukan adalah untuk hal-hal yang membawa manfaat. Dan tanamkan dalam pola pikir kita (mindset) bahwa semua waktu-waktu dalam melakukan aktifitas keseharian itu merupakan waktu - waktu yang prioritas. Contoh waktu-waktu prioritas itu seperti waktu untuk ibadah, waktu untuk mencari nafkah bagi yang sudah berkeluarga dan waktu sekolah/kuliah bagi para pelajar. Kemudian waktu membersamai keluarga (quality time), waktu untuk diri sendiri yang memerlukan beristirahat/menjaga kesehatan dan terakhir adalah waktu bersama komunitas untuk mengembangkan/memajukan desa wisata.
Ketiga, diawal ingin merintis pengembangan desa wisata niatkan untuk menjaga atau bahkan niatkan untuk mengembalikan nilai-nilai mulia dari kehidupan masyarakat desa. Nilai-nilai yang mungkin dalam perjalanan moderenisasi suatu desa di era hari ini sudah banyak yang tergerus. Bahkan mungkin hampir hilang. Misal mulai dari fenomena demi investasi desa lalu hutan kawasan dibabat habis tanpa memikirkan dampak jangka panjang kerusakan lingkungan. Atau misal kenakalan anak-anak muda yang semakin mengkhawatirkan. Atau saat acara budaya lokal (Maras taun, selamat laut, selamat kampung dsbnya) atau kegiatan di desa lainnya lebih banyak penampilan musik organ tunggal yang mengumbar aurat dan syair-syair yang tidak mendidik daripada penampilan kesenian tradisional yang penuh dengan ajaran agama serta pantun-pantun nasehat.
Keempat, temukan sahabat yang satu circle (satu pemahaman) saat ingin memulai merintis desa wisata. Jalin komunikasi yang baik dengan kepala desa atau pemerintah desa, jalin komunikasi yang intens dengan para pemuda di desa, banyak-banyak silaturahim dengan tokoh agama dan Masyarakat yang ada di desa. Lakukan semua itu tanpa membedakan satu sama lain. Agak berat memang menjalankan trik/strategi ini, namun disinilah sesungguhnya perjalanan panjang dan melelahkan itu akan dimulai. Bila mampu merangkul para pihak yang ada di desa ini, maka inshaaAllah pada akhirnya semua akan mulai berjalan baik.
Kelima, lakukan keempat hal di atas dengan konsisten dan komitmen bersama. Jaga terus kerjasama tim dan banyak-banyak persiapkan ‘amunisi rasa sabar’. Sebab pada tahap ini akan mulai ditemui tantangan baru yang mungkin diluar nalar kita sebelumnya. Pada tahap ini tantangan yang muncul mulai dari internal komunitas sampai ke pihak eksternal komunitas desa wisata. Dari internal komunitas seperti mulai ada perbedaan prinsip pengembangan desa wisata, tidak transparansi masalah keuangan komunitas, mulai ada beberapa anggota komunitas yang sering tidak aktif bahkan yang parah mulai menjadi provokator menghasut anggota lain untuk berbuat hal yang sama karena ‘berebut kekuasaan’ menjadi pengurus desa wisata. Tantangan dari eksternal seperti ada pihak-pihak yang ‘merendahkan’ kasta desa wisata, salling menjelekkan antara satu komunitas dengan komunitas desa wisata yang lain. Bahkan terkadang sikap suatu pemerintah yang hanya sekedar membuat program pengembangan desa wisata tapi hanya sekedar ‘melepaskan’ kewajiban tanggung jawab dari program pemerintah pusat. Bahkan ada terkadang tindakan suatu pemerintah atau instansi pemerintah yang bekerja tidak professional yang bekerja berdasarka suka dan tidak suka pada personal pengurus suatu desa wisata. Dan banyak lagi tantangan berat yang selalu akan di temui.
Namun pada prinsipnya adalah jangan pedulikan semua itu. Karena setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Dan yang harus diyakini adalah desa wisata itu akan tetap ada dan berjalan baik selama jiwa-jiwa Ikhlas masih menjadi ruhnya desa wisata itu sendiri.
Yang namanya ada kunjungan wisatawan (berkualitas), ada dampak ekonomi, ada peningkatan pendapatan, adanya kenaikan kesejahteraaan pelaku desa wisata (pariwisata berbasis masyarakat) dan adanya penghargaan (reward) kepada pelaku suatu desa wisata merupakan bonus dari konsistennya menjaga nilai-nilai luhur masyarakat desa yang penuh dengan kesahajaan menjaga hubungan antar sesame manusia, menjaga hubungan baik dengan alam sekitar dan yang ppaling utama adalah menjaga hubungan baik dengan Sang Maha Pencipta (Ibadah).
Jadi kurang apalagi pemberian dari Yang Maha Kuasa kepada kita bila dihubungkan dengan pengembangan desa wisata ? Maka jagalah pemberianNYA ini dengan baik sebagai titipan dari generasi yang akan dating. Wallahu’ala bissawaf …
Penulis : Iswandi (Perintis Dan Pengelola Desa Wisata Kreatif Terong Belitung )